Finito, Risjbergen!
(Foto: Sportiplus)
PERTANYAANNYA simpel: apa sih kelebihan Wim Rijsbergen sebagai pelatih? Jawabannya singkat: tidak ada! Lantas, buat apa ia di timnas Indonesia?
PERTANYAANNYA simpel: apa sih kelebihan Wim Rijsbergen sebagai pelatih? Jawabannya singkat: tidak ada! Lantas, buat apa ia di timnas Indonesia?
Nah, jawaban atas pertanyaan kedua itu yang tak mudah. Harus mereka-reka. Maklum, pemilihan Rijsbergen sebagai pelatih kepala timnas senior menggantikan Alfred Riedl penuh nuansa.
Bayangkan ini. Riedl didepak hanya dengan alasan kontraknya tak jelas. Ketika ramai digunjingkan, alasan demi penyegaran diapungkan. Padahal, intinya, publik juga tahu kalau Riedl ikut jadi korban gerakan babat alas PSSI era reformasi pimpinan Djohar Arifin Husin hasil KLB 9 Juli di Solo.
Kasus Riedl ini akhirnya harus masuk daftar bedah FIFA. PSSI meladeni pelatih asal Austria itu. Tapi, hingga timnas besutan Risjbergen kalah (lagi) 2-3 dari Qatar, Selasa (11/10), belum diketahui sudah sampai di mana proses atas kasus ini.
Terlepas dari gugatan Riedl, pergantian posisi pelatih kepala ke tangan Rijsbergen sebetulnya bukan sesuatu yang aneh. Pelatih diganti, itu biasa terjadi di mana pun. Cuma, apakah sang pengganti betul lebih baik dari yang diganti, itu masalahnya.
Di era 1970-an, Rijsbergen memang termasuk pemain andal di timnas Belanda. Bersama Johan Cruyff, Johan Neskeens, kiper Jong Bloed, ia ikut mengusung konsep total football De Oranje yang begitu menghebohkan meski buntu di hadapan Jerman (Barat) di final Piala Dunia 1974.
Itu dulu. Sebagai pelatih, publik sepakbola di sini cuma tahu ia sempat menangani PSM Makassar di jalur Liga Primer Indonesia (LPI). Tak ada yang istimewa. Sampai LPI distop, PSM terjepit di papan tengah klasemen.
Ketika diberi kepercayaan PSSI menggantikan Riedl sebagai pelatih kepala timnas senior, Rijsbergen langsung dihadapkan pada tugas meloloskan Indonesia dari hadangan Turkmenistan.
Tugas itu, memang, bisa dilalui dengan baik. Indonesia menang agregat gol atas Turkmenistan dan lolos ke putaran 3 Pra Piala Dunia 2014 Zona Asia. Tapi, ingat, boleh dibilang ia tak melakukan apapun bagi timnas.
Firman Utina dkk adalah hasil bentukan Riedl pasca meraih gelar runner up Piala AFF 2010. Artinya, Rijsbergen tinggal meneruskan skuad olahan Riedl yang waktu itu mampu membakar antusiasme dan heorisme dukungan publik.
Di lapangan pun Rijsbergen sangat mengandalkan asisten pertamanya, Rahmad 'RD' Darmawan. Selain kendala komunikasi, Rijsbergen juga belum mengenal betul satu per satu serdadunya. Saat itu, RD lebih berperan ketimbang Rijsbergen.
Sejak PSSI mengubah formasi tim pelatih -Rijsbergen bersama Liestiadi di timnas senior dan RD bersama asistennya di timnas U-23- baru terkuak perbedaannya.
Rijsbergen tak punya jurus seperti Riedl dan RD: tegas, tapi tetap bisa mengambil hati pemain. Tetap bisa dekat dan berkomunikasi dengan baik tanpa perlu takut kehilangan kharisma sebagai pelatih.
Setelah Indonesia menelan dua kekalahan beruntun (0-3 dari Iran dan 0-2 dari Bahrain), keberadaan Rijsbergen di tengah pemain timnas pimpinannya kian menyiratkan banyak masalah.
Bukan cuma mendamprat dan menyalahkan pemain, Rijsbergen bahkan sempat menyatakan timnas pimpinannya bukanlah timnas hasil karyanya. Ia juga menyebut mayoritas pemainnya tak layak tampil di level Pra Piala Dunia.
Tersinggung lantaran dilecehkan, sejumlah pemain bereaksi keras. Sebagian buka suara lewat media. Diwarnai pula reunian Riedl dengan tujuh punggawa timnas yang kecewa. Juga mencuat pernyataan ogah main buat timnas selama masih dipegang Rijsbergen.
Konflik superpanas itu baru terjembatani lewat pertemuan dari hati ke hati Bernhard Limbong selaku penangung jawab timnas dengan para pemain di Hotel Kempenski. Lahiriah tampak beres, tapi isi otak dan hati siapa tahu?
Apapun, faktanya, timnas senior pimpinan Rijsbergen tersuruk di dasar klasemen Grup E putaran 3 Pra Piala Dunia 2014 Zona Asia. Tiga kali tanding tanpa sebiji pun poin dikantongi, Indonesia hampir pasti tersingkir paling dulu di antara Iran, Bahrain, dan Qatar.
Bukan cuma kalah melulu, dari segi teknis permainan dan taktik strategi pun publik bisa menyimpulkan timnas tak menunjukkan progres. Jauh dari yang diharapkan.
Bahkan, antusiasme publik yang sempat menyala-nyala, sejak Selasa (11/10) malam terlihat mulai redup. Tiket menumpuk tak laku. Sebagian besar bangku tribun Stadion Utama Gelora Bung Karno kosong.
Yang terdengar nyaring kemudian adalah teriakan Rijsbergen harus segera dilengserkan. Tak dikomando, tapi suporter, pemerhati sepakbola, mantan pemain, dan banyak elemen publik lain menyerukan hal yang sama: enough is enough! Finito, Rijsbergen! Cukup sampai di sini, Rijsbergen!
Tunggu apa lagi? Apa mau timnas Indonesia sampai dibabat alas juga seperti ketika pasukan reformasi ambil alih kendali PSSI dan kini malah morat-marit?