Kawan atau Lawan, PSSI Pun Rawan
(Foto: Sportiplus)
PASTI tidak adil memperbandingkan kinerja PSSI era Nurdin 'NH' Halid dan PSSI era Djohar Arifin Husin dari segi waktu. Cuma, benang tampak makin kusut.
PASTI tidak adil memperbandingkan kinerja PSSI era Nurdin 'NH' Halid dan PSSI era Djohar Arifin Husin dari segi waktu. Cuma, benang tampak makin kusut.
Masih hangat dalam ingatan betapa gencar dan keras gerakan K-78, kelompok
pengusung elan reformasi, saat hendak mengakhiri kepengurusan NH yang
dianggap menyimpang dari statuta PSSI maupun FIFA.
Kongres Tahunan PSSI pun sampai harus diulang sebelum diakhiri Kongres Luar
Biasa (KLB) di Solo sesuai desakan FIFA setelah dua kali buntu.
Lewat rentetan situasi tak kondusif, bahkan nyaris diwarnai bentrok fisik yang melibatkan aparat negara, akhirnya terpilih bos baru PSSI di KLB 9 Juli.
Didahului pengguliran Liga Primer Indonesia (LPI) yang didukung pengusaha top
Arifin 'AP' Panigoro dan KSAD (saat itu) George 'GT' Toisutta sebagai bentuk
perlawanan paling ekstrem terhadap PSSI era NH, seluruh sektor kerja PSSI
akhirnya memang tercerabut.
K-78 gagal melejitkan duet GT-AP ke posisi puncak struktur operasional PSSI
lantaran larangan FIFA, tapi rezim NH sukses dirontokkan. Dibabat sampai
akar-akarnya. Tak peduli rapor kinerjanya, tak ada lagi sisa ruang bagi personel rezim NH begitu Djohar dan timnya menduduki PSSI.
Dari luar, orang mudah meraba misi Djohar dan K-78 saat sudah mengendalikan
kemudi PSSI. Konon, di bawah 'arahan' AP, semua elemen kerja berbau rezim NH
disikapi sebagai lawan perintang gerakan sapu bersih mereka yang katanya demi
memajukan PSSI dan sepakbola nasional.
NH dan segenap kru kabinetnya yang dianggap telah menyimpang dari statuta
FIFA adalah pihak yang berseberangan dengan semangat pembenahan dan sikap
profesional yang diusung pengurus PSSI era reformasi. Seolah tak ada yang baik dan benar selama NH beserta krunya mengelola PSSI.
Cocok atau tidak, mampu atau tidak, berpengalaman atau tidak, siapa pun yang
berjuang di K-78 dan pendukung lain saat merontokkan rezim NH sebaliknya
disikapi sebagai kawan. Ya, kawan untuk diajak bersama-sama mengurai benang
di PSSI yang di mata mereka sangat kusut.
Hasilnya?
Tentu, tidak adil memperbandingkan hasil kerja rezim NH yang tahunan dengan
hasil kerja era reformasi pimpinan Djohar yang belum lagi genap tiga bulan.
Cuma, masalahnya, sikap menganggap kawan dan lawan itu ternyata justru membuat Djohar dan krunya terlihat kedodoran.
Sama sekali belum terlihat munculnya sinyal pembenahan dan iklim yang katanya bakal lebih profesional sebagaimana digembar-gemborkan.
Yang bikin miris, program kerja yang di rezim NH berjalan cukup baik dan mengarah ke perbaikan, setelah coba dibongkar hingga kini justru masih berantakan.
Ibarat mesin mobil yang tadinya cuma butuh servis rutin dan ganti beberapa
spare part agar bisa dipacu lebih greng, sang montir kini malah kebingungan
sendiri saat mesin sudah diturunkan dan dibongkar sana-sini.
Seperti alergi terhadap segala hal berbau rezim NH, entah terkait program atau personel, semua mau dinihilkan, lalu diganti dengan yang baru hanya demi
memuaskan emosi dan ego rezim reformasi. Tapi, yang terjadi justru bumerang.
Yang sudah ada jadi tiada, yang sudah menggeliat jadi macet.
Penanganan timnas senior setelah mendepak secara sepihak pelatih kepala
Alfred Riedl, belakangan dibumbui konflik tak sedap meski konon sudah
terjembatani.
Lalu, kompetisi musim 2011/2012 yang katanya model anyar dan dijadwalkan
bergulir mulai 8 Oktober, niscaya bakal molor. Bahkan, masih dipenuhi koreksi
keras soal nama, format, jumlah klub peserta.
Plintat-plintut dalam menerapkan statuta hanya karena hendak membela kepentingan tertentu juga mengundang reaksi panas.
Lebih dari sekadar sikap frontal yang konsisten ditunjukkan anggota Komite Eksekutif PSSI La Nyalla Mattaliti, bahkan Harbiansyah Hanafiah menunjukkan
perlawanan ekstrem dari dalam. Ia mundur dari pos jabatan Ketua Badan Liga
Indonesia (BLI) yang belum genap sepekan didudukinya.
La Nyalla dan Harbiansyah menyatakan terlibat K-78 karena terpanggil untuk
ikut menguarai benang kusut PSSI di era NH. Kini, keduanya menentang karena
ternyata kinerja PSSI era reformasi juga menyimpang dari statuta sehingga
membuat benang kusut PSSI malah jadi makin kusut.
Nah, apakah sebegitu banyak nama yang dicantumkan dalam komite lengkap PSSI era reformasi juga berangkat dari pemilahan siapa kawan dan siapa lawan
seperti ketika memberangus rezim NH? Lalu, apakah nama-nama itu punya
kecocokan dengan bidang kerjanya dan memang siap bekerja?
Ini yang pasti: selama PSSI sibuk dengan urusan siapa kawan dan siapa lawan,
selama itu pula situasi rawan mengungkungi. Jangankan bicara prestasi,
sekadar bekerja baik dan benar pun bakal kepayahan.