Kisruh PSSI, Roy tak Pusing
(Foto: Sportiplus)
JANGAN sebut Mennegpora Roy Suryo sulit atasi kisruh PSSI. Tugas pakar telematika itu justru sangat ringan. Lho?
JANGAN sebut Mennegpora Roy Suryo sulit atasi kisruh PSSI. Tugas pakar telematika itu justru sangat ringan. Lho?
Kisruh PSSI bermula dari kebijakan PSSI di bawah pimpinan Djohar Arifin Husin mengubah semua keputusan kongres tahunan II PSSI di Bali pada Januari 2011. Kongres Bali memutuskan beberapa program kerja, tapi dipangkas habis rezim Djohar melalui keputusan rapat Komite Eksekutif PSSI pimpinannya. Bukan melalui kongres.
Di statuta ditegaskan wewenang Komite Eksekutif melingkupi semua hal kecuali keputusan kongres. Artinya, keputusan kongres hanya dapat diubah melalui kongres.
Itu tertulis dengan sangat jelas di Statuta PSSI pasal 37 ayat 1 huruf a yang berisi: Komite Eksekutif berwenang mengambil keputusan atas seluruh kasus yang bukan merupakan lingkup tanggung jawab kongres atau yang tidak diberikan kepada badan lain sebagaimana diatur dalam statuta ini.
Setidaknya ada 3 keputusan penting Kongres Bali yang diubah Djohar dkk. Pertama, menyangkut jumlah dan struktur peserta kompetisi. Kedua, menyangkut operator penyelenggara liga profesional. Ketiga, terkait hukuman PSSI atas 2 klub yang kala itu menyeberang ke Liga Primer Indonesia, yakni Persema Malang dan Persibo Bojonegoro.
Tiga keputusan penting Kongres Bali itu dimentahkan begitu saja dengan membuat keputusan baru yang dihasilkan hanya di tingkat rapat Komite Eksekutif. Djohar dkk memutuskan mengubah jumlah dan struktur peserta kompetisi, mengubah operator penyelenggara liga profesional, mencabut hukuman PSSI atas Persema dan Persibo.
Kebijakan Djohar dkk yang dipaksakan itulah jadi mencuatkan kisruh sesama pengurus dan konflik di antara pengurus dengan anggota PSSI. Titik awal kemelut dipicu penolakan anggota Komite Eksekutif PSSI La Nyalla Mattalitti terhadap produk keputusan rapat Komite Eksekutif.
La Nyalla memilih menyatakan secara terbuka penolakannya di hadapan media massa. Sebab, baginya, keputusan-keputusan PSSI melalui rapat Komite Eksekutif itu melanggar statuta, terutama terkait keputusan Kongres Bali.
Sikap La Nyalla diikuti 3 anggota lain Komite Eksekutif PSSI hasil KLB 9 Juli 2011 di Solo. Mereka adalah Robertho Rouw, Erwin D Budiawan, dan Tonny Aprilani.
Puncak konflik terjadi ketika klub-klub Indonesia Super League (ISL) menolak perubahan jumlah dan struktur kompetisi serta perubahan operator liga. Klub-klub ISL yang sudah mengikuti kompetisi tahun sebelumnya dipaksa kehilangan hak dan kewajiban promosi-degradasi secara tiba-tiba. Juga dipaksa menyatu dengan klub-klub yang tidak layak berada di top-tier (kasta tertinggi) liga.
Penolakan klub-klub ISL terjadi saat managers meeting di Hotel Ambara, Jakarta, 12 Oktober 2011. Malam itu pula, klub-klub ISL yang terdiri atas Persipura Jayapura, Sriwijaya FC, Persib Bandung, Persija Jakarta, dan sederet klub lainnya mendeklarasikan diri tetap berkompetisi sesuai keputusan Kongres Bali serta di bawah naungan operator sebelumnya, yakni PT Liga Indonesia (LI). Bukan bergabung bersama operator baru yang ditunjuk rezim Djohar, yakni PT LIga Prima Indonesia Sportindo (LPIS).
Sejak itu, jadilah bola panas kemelut PSSI membesar dan terus bergulir tak terkendali. Puncaknya, 452 dari 600-an anggota sah PSSI ajukan Mosi tidak percaya kepada Djohar dkkn pada 18 Desember 2011.
Atas mosi itu, 81 dari 101 pemegang hak suara (voter) menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Ancol Jakarta pada 18 Maret 2012. Dalam KLB itu, voter sah PSSI akhirnya memilih Komite Eksekutif PSSI yang baru dengan La Nyalla ditetapkan sebagai Ketua Umum PSSI.
Roadmap FIFA
Konflik sepakbola Indonesia akhirnya sampai juga ke meja rapat federasi sepakbola internasional (FIFA). Melalui AFC, perwakilan FIFA di Asia, diputuskan segera akhiri kemelut sepakbola Indonesia. AFC pun mengundang ke-2 pihak.
PSSI Djohar dan PSSI La Nyalla pun sama-sama tanda tangani MoU di Kuala Lumpur pada 7 Juni 2012. MoU itu sejatinya adalah roadmap FIFA yang wajib dijalankan Indonesia. Sebab, sanksinya sudah di depan mata. Bila MoU tidak bisa diimplementasikan, sanksi dari FIFA bagi Indonesia pasti diturunkan.
MoU itu meliputi 4 hal pokok, yaitu pengembalian 4 anggota Komite Eksekutif yang diberhentikan PSSI, pembentukan 1 liga top-tier baru pada 2014-2015, revisi statuta PSSI, dan kongres tahunan yang harus diikuti voters Solo.
Buat memastikan MoU itu dapat diwujudkan, AFC membentuk Joint Committee (JC) PSSI. Isinya 8 orang, masing-masing 4 dari 2 kubu PSSI. Namun, pada perjalanannya, JC PSSI tak bisa bekerja dengan baik. Mereka gagal. Parahnya lagi, secara sepihak dibubarkan PSSI Djohar. Bahkan, mereka juga secara sepihak membatalkan perjanjian yang tertuang dalam MoU yang sudah diteken bersama.
Atas semua itu, FIFA memberi tugas khusus kepada acting Presiden AFC Ziang Jilong datang ke Indonesia guna memastikan kemelut sepakbola Indonesia selesai sebelum Komite Eksekutif FIFA bersidang pada 20 Maret 2013.
Dalam misi tugasnya ke Indonesia, acting Presiden AFC yang didampingi Sekjen AFC Alex Sosay menemui ke-2 kubu PSSI yang difasilitasi Ketua Umum KOI Rita Subowo di Jakarta, 10 Januari 2013. Hasilnya, AFC menunjuk Rita sebagai ketua tim task force Indonesia. Tim itu jadi kepanjangan tangan AFC dalam memastikan 4 butir isi MoU Kuala Lumpur diimplementasikan dengan benar.
Dalam tugasnya, Rita didampingi 3 anggota. Mereka adalah 1 orang dari PSSI Djohar, 1 orang dari PSSI La Nyalla, dan 1 orang dari AFC.
Task force Indonesia juga dapat mandat dari AFC buat membentuk badan ad-hoc sebagai penanggung jawab timnas Indonesia menghadapi Pra Piala Asia 2015. Timnas Indonesia bertarung pada 6 Februari dan 22 Maret 2013.
Lantas, di mana peran Mennegpora Roy Suryo?
Jawabannya sederhana: fasilitasi saja task force Indonesia yang dibentuk AFC itu. Ringkasnya, Mennegpora cukup berkoordinasi intensif dengan Rita. Biar KOI yang bekerja sesuai arahan AFC yang dapat mandat langsung dari FIFA. Ringan, bukan?
*Penulis: Sefdin Syaifudin, Direktur Eksekutif PSSI pimpinan La Nyalla Mattalitti