Mau ke Mana, Irfan?

(Foto: Sportiplus)
KEHADIRAN pemain bintang dalam sebuah tim memang vital. Tapi, salah memperlakukannya, bisa juga malah jadi fatal. Di sebelah mana Irfan Bachdim?
KEHADIRAN pemain bintang dalam sebuah tim memang vital. Tapi, salah memperlakukannya, bisa juga malah jadi fatal. Di sebelah mana Irfan Bachdim?
Buat publik sepakbola di Tanah Air, sosok Irfan baru mencuat sejak membela timnas Indonesia di Piala AFF 2010. Dari 10 kali main, ia mencetak 2 gol. Ia ikut membawa pasukan Merah Putih ke posisi runner-up.
Secara teknis, kapasitas Irfan ketika ditugasi jadi striker, gelandang, atau pemain sayap terbilang biasa-biasa saja.
Di ketiga alternatif posisi itu, misalnya, ia bukanlah tipikal pengolah bola yang licin. Juga bukan tipikal dirigen jempolan yang mampu mengendalikan ritme permainan.
Bahwa tendangannya keras, pergerakannya cukup cepat dan bertenaga, itu betul.
Maklum saja, kondisi fisik pemain kelahiran Amsterdam, 11 Agustus 1988, ini
memang masih segar di usianya yang menginjak 23.
Tapi, setiap bicara Irfan, orang jadi heboh karena belum apa-apa ia sudah dianggap idola. Bisa main bola -olahraga paling merakyat, muda, berpostur dan bertampang oke, beraroma asing pula.
Irfan spontan melesat jadi buah bibir. Paham tak paham urusan sepakbola, orang-orang begitu mudah latah untuk ikutan demam Irfan. Ke mana saja ia pergi, kerumanan orang membuntutuinya. Entah minta tanda tangan, foto bersama atau malah iseng mencubit pipi anak laki berdarah londo ini.
Dalam sekejap, sosok Irfan bak ikon bagi banyak pihak, termasuk sejumlah produsen. Ikon yang mewakili generasi muda sehat dan berprestasi, ikon atlet ganteng yang bisa menjelma jadi selebriti. Lebih-lebih setelah ia memadu kasih dengan foto model Jennifer Kurniawan.
Keberadaan Irfan kian menghebohkan ketika ia berani menolak seruan PSSI yang
melarangnya berkecimpung di Liga Primer Indonesia (LPI), kompetisi ilegal yang akhirnya memang dibubarkan.
Irfan nekat memilih jalur LPI dan teken kontrak dengan manajemen klub Persema
Malang ketimbang masuk klub lain di jalur Liga Super Indonesia (LSI), kompetisi resmi di bawah naungan PSSI.
Buntutnya, Alfred Riedl selaku pelatih kepala timnas ketika itu tak lagi sudi memakai jasa Irfan dalam skuadnya. Riedl beralasan Irfan tak steril karena terlibat di LPI yang bertentangan dengan PSSI maupun AFC dan FIFA.
Setelah PSSI berganti kepengurusan lewat KLB 9 JUli di Solo, berganti pula kendali atas timnas. Riedl didepak, Wim Rijsbergen dihadirkan. Irfan pun bisa kembali ke timnas.
Irfan masuk skuad Rijsbergen ketika melewati hadangan Turkmenistan dan lolos ke putaran 3 Pra Piala Dunia 2014 Zona Asia. Irfan ikutan ketika tiga kali beruntun timnas terjengkang: kalah 0-3 dari Iran, 0-2 dari Bahrain, dan 2-3 dari Qatar. Ia ada di timnas Merah Putih yang sudah hampir pasti tersisih.
Sampai di situ, Irfan terkesan menganggap semua baik-baik saja. Tak ada yang harus diluruskan terkait langkah-langkahnya sejak menjejak di Indonesia.
Irfan baru terkesiap menghadapi Rahmad 'RD' Darmawan, orang Indonesia tulen yang tengah dipercaya jadi pelatih kepala timnas U-23 dengan target meraih medali emas di SEA Games XXVI, November.
Irfan yang sudah merasa begitu tenar, diidolakan, dan dibutuhkan di mana-mana boleh jadi tak menyangka kali ini kena batunya. RD, sosok rendah hati tapi tegas dan bertangan dingin, dengan mantap mencoret Irfan dari daftar skuad timnas U-23.
Tentu, ada penyebabnya. RD kehabisan kesabaran menghadapi Irfan yang dengan arogan menyepelekan panggilannya untuk bergabung di TC timnas U-23. Irfan tak kunjung datang dan malah sibuk syuting iklan.
Kasus tak berhenti di situ. Bernhard Limbong, penanggung jawab timnas, ikut tersinggung. Mendukung keputusan RD, Limbong memproses kasus Irfan sesuai aturan main. Irfan dijerat pasal 78 Kode Disiplin. Ancamannya berupa 6 bulan dilarang aktif di sepakbola atau bayar denda Rp 100 juta.
Bukan cuma bisa merunduk lesu, Irfan pun akhirnya menghampiri RD dan para pemain timnas U-23 yang tengah serius mengasah diri di Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Dengan terbata, Irfan berucap minta maaf. RD secara pribadi membuka pintu maaf. Tapi, soal pencoretan, RD bergeming. Nama Irfan tetap dihapus.
Salut buat RD. Ia telah menunjukkan sikap yang tepat sebagai pelatih kepala sebuah tim nasional. Ia hindari preseden buruk di kemudian hari.
Bersyukur juga kali ini PSSI bertindak on the track sehingga masalah setitik tak melebar jadi kisruh seperti kerap terjadi belakangan. Bahkan, mewakili PSSI, Limbong pun menyatakan siap menyingkirkan Irfan dari timnas senior jika memang dibutuhkan sampai sejauh itu.
Buat Irfan, yang selama ini melangkah keliru pun tak diluruskan dan malah didukung (kasus Persema dan LPI), hendaknya tak cuma tersentak.
Irfan mesti sadar bahwa segemerlap apapun kebintangan seseorang, tak bakal terang benderang tanpa unsur orang lain sebagai penopang. Sadar bahwa di PSSI, di timnas, di Indonesia ada aturan main yang mesti dihormati. Sadar bahwa ketika bermain di lapangan ia tak mungkin bisa bergerak sendirian.
RD, seperti para pelatih lain, jelas bukan dewa. RD manusia biasa. Tapi, dalam urusan teknis dan non-teknis tim, pelatih adalah pemegang otoritas tertinggi.
Itu sebabnya, pemain sekaliber David Beckham pun harus angkat kaki dari Old Trafford ketika hubungannya sebagai pemain dengan pelatih Alex Ferguson tak lagi kondusif, bahkan sempat ditingkahi adegan lempar sepatu di kamar ganti.
Carlos Tevez yang begitu kesohor dan digila-gilai banyak klub juga harus menerima sanksi tak dimainkan Manchester City. Itu akibat ulahnya menampik tugas dari pelatih Roberto Mancini di laga Champions League kontra Bayern Muenchen.
Sebadung-badungnya Diego Armando Maradona dan Erick Cantona dulu, lalu Cristiano Ronaldo kini, di tengah kehebatannya sebagai pesepakbola bertalenta istimewa, mereka tetap patuh kepada sang pelatih. Apalagi jika merujuk pada kesantunan dan keteladanan Gary Lineker.
Masih banyak contoh faktual yang menggambarkan betapa penting etika, aturan main, dan komitmen pada sikap profesional disadari, dikendalikan, dan dihormati bersama. Sebab, hidup tanpa kendali sama saja mengibiri harkat diri sendiri. Ibarat jalan tanpa rambu.
Semoga kasus Irfan jadi pelajaran buat semua. Tak cuma buat Irfan, tentu.