Menunggu Godhot

(Foto: Sportiplus)
USIA PSSI 15 tahun lebih lebih tua dari kemerdekaan RI. Kondisinya sama. Sama-sama ribet dan tak kunjung dewasa. Bukan bersatu, malah terus berseteru.
USIA PSSI 15 tahun lebih lebih tua dari kemerdekaan RI. Kondisinya sama. Sama-sama ribet dan tak kunjung dewasa. Bukan bersatu, malah terus berseteru.
Kamis, 19 April 2012, para pihak yang mengklaim cinta, peduli, punya hak dan tanggung jawab mengurus sepakbola di negeri ini memperingati hari jadi ke-82 PSSI.
Pemaknaan apa yang bisa dipancangkan di luar rangkaian seremoni ziarah ke makam sang pendiri, berdoa dan syukuran bersama yang kemudian dilengkapi pencetusan jargon-jargon?
Sudah sejauh mana pembuktian cinta, kepedulian, hak, dan tanggung jawab itu berjalan dalam 1 rel dengan tujuan sama: sisihkan ego demi bersatu membangun kekuatan sepakbola nasional?
Seberapa dalam akar kesadaran dan sikap tahu diri para pengklaim itu merefleksikan kondisi faktual kini dengan rel yang 82 tahun silam dibentangkan Soeratin Sosrosoegondo (alm), yang sesungguhnya amat jelas, ringkas, dan tegas?
Jawabannya tak usah menunggu pakar menuangkan unek-uneknya. Orang awam, bahkan jauh dari urusan sepakbola, pun bisa menilai. Ya, PSSI dan sepakbola nasional kini penuh bopeng. Jauh melenceng dari khitahnya.
Soal strata, kompetisi, legalitas, dan organisasi tendang menendang si kulit bundar di republik berpenduduk lebih 230 juta jiwa ini penuh riak lantaran terus dibarengi konflik kepentingan. Bukan lagi bersatu merangkai segenap potensi sebagaimana dicita-citakan Soeratin dulu, tapi malah terburai dan tercerai berai.
Kecenderungan konyol dan bodoh kian menguat. Tak beda dengan penataan negara ini dengan segala perangkatnya. Ketika waktu terus bergulir ke depan, kita bukan lagi stagnan, tapi justru menoleh dan terus berjalan ke belakang.
Ketika Presiden RI dan Ketua Umum PSSI berganti, harapan baru mencuat. Harapan agar kondisi negara berikut sepakbolanya membaik. Tapi, begitu kepemimpinan baru itu bekerja, fakta yang terhampar malah jauh panggang dari api.
Lingkaran itu tak kunjung berujung. Presiden dan pimpinan PSSI silh berganti, kondisi tak juga dapat diperbaiki. Ibarat menunggu Godhot yang tak kunjung datang, harapan demi harapan itu pun pupus.
Sebutlah ketika Djohar Arifin Husin dkk ditetapkan sebagai pengganti Nurdin Halid dkk dalam Kongres Luar Biasa (KLB) 9 Juli 2011 di Solo. Jargon yang diletupkan waktu itu adalah mereformasi total PSSI dan sepakbola nasional.
Faktanya?
Ironis. Kinerja Djohar dkk justru memunculkan seabrek problem baru, bukan perwujudan dari harapan baru. Banyak sisi di era Nurdin yang memang mesti dibenahi, kini malah kian kusut. Yang tadinya sudah jalan dan perlu direvitalisasi, kini malah kian awut-awutan.
Kompetisi sepakbola nasional kini terbelah. Pembentukan timnas jadi dangkal dan politis sampai menyembulkan aib kekalahan 0-10 dari Bahrain. Dua kongres berlangsung dengan arah bertentangan di hari yang sama. Elemen sepakbola Indonesia, termasuk PSSI sendiri, kini terpecah belah.
Kian kederlah pegiat maupun penikmat sepakbola di negeri ini. Apalagi, setelah 2/3 lebih anggota sah PSSI mempercayakan Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) menggelar KLB 18 Maret 2012 dan menetapkan La Nyalla Mattalitti dkk memimpin PSSI 2012-2016, tapi Djohar dkk bergeming.
FIFA dan AFC bukan tidak tahu problematik ini. Mereka, bahkan, puyeng juga karena menerima laporan berbeda dari 2 kubu yang berseteru.
Keputusan atas nasib sepakbola Indonesia pun diambangkan hingga 15 Juni 2012. Tim investigasi untuk menggali fakta langsung sudah dibentuk. Cuma, sayangnya, urung melaksanakan fact finding dengan datang langsung. Konon, tim itu rikuh plus khawatir hadapi berbagai tekanan di sini.
Memang, proses dilanjutkan dengan cara memanggil kubu Djohar dan kubu La Nyalla ke markas AFC di Kuala Lumpur, Selasa (24/4). Tapi, tentu, cara itu tidak gamblang. Nyaris tak berbeda dengan proses sebelumnya.
Di balik itu, sepatutnya juga bangsa ini malu. Bayangkan, hanya untuk menginvestigasi biang kisruh sepakbola di Indonesia pun pihak dari negeri seberang sampai 'ketakutan'. Itu melengkapi malu akibat digilas Bahrain 10 gol tanpa balas.
Dan, bungkusan malu yang bikin sembilu terparah tentu saja fakta bahwa mengurus pekerjaan internal saja ternyata bangsa ini belum juga mampu.
Bukan mengasah kekuatan guna berkompetisi sehat dan progresif dengan negara lain, energi bangsa ini justru habis terkikis akibat sibuk bertikai sendiri.
Semua itu penting dijadikan renungan La Nyalla dkk yang dari sisi fakta, mental, moril, dan psikis tinggal menanti legitimasi. Renungan untuk segera mengubur kekonyolan dan kebodohan yang selama ini menistakan PSSI dan sepakbola Indonesia dengan tindakan nyata yang elegan, jujur, solid, dan on the track.
Hindari sikap reaktif dan langkah grasak-grusuk yang tak mencerminkan kematangan karakter sebagai pemangku kepercayaan sekaligus harapan publik sepakbila di negeri ini.
Terlalu prematur menebar kehebohan mendatangkan Alfred Riedl, misalnya, hendaknya dijadikan aksi pertama dan terakhir. Sebab, memangnya Riedl mau membentuk dan memimpin timnas yang mana selama legitimasi itu belum di tangan?
Biarkanlah kekonyolan dan kebodohan, termasuk pencatutan pangkat kemiliteran sebagai alat paksa, terus disemburkan kepengurusan yang sudah tak didukung lebih dari 2/3 aggota sah PSSI.
La Nyalla dkk tak perlu selalu sensitif, apalagi reaktif, terhadap kekonyolan dan kebodohan seperti itu. Toh, La Nyalla sendiri sudah punya prinsip kuat sebagai bekal: mantap dan konsisten menegakkan kebenaran obyektif.
Jadi, yakin saja pintu menuju tegaknya kebenaran itu akhirnya bakal terbuka. Berpikir dan bertindak elegan selama menanti legitimasi sambil terus mematangkan efektivitas kinerja tim, itu yang terbaik. Juga menyejukan.
Bila perlu sejak sekarang dikaji ulang ketajaman makna struktur kerja berikut tingkat kapabilitas kru yang mendudukinya. Bukankah jauh lebih baik mengedepankan stuktur kerja ramping dan taktis dengan out put maksimal dan kredibel?
Menantikan legitimasi, lalu pembuktian kinerja yang lebih baik dan benar dari La Nyalla dkk, memang seperti menunggu Godhot dalam urusan perbaikan nasib bangsa ini.
Cuma, jika problematik negara dan bangsa ini terlalu kompleks untuk disimplikasi, semoga saja La Nyalla dkk mampu membuktikannya lebih dulu di sebagian kecil dari kompleksitas itu: membebaskan PSSI dan sepakbola Indonesia dari kekonyolan dan kebodohan.