PSSI Makin tak Seksi

(Foto: Sportiplus)
SEJAK terbentuk lewat KLB 9 Juli di Solo, wajah PSSI pimpinan Djohar Arifin Husin kian penuh bopeng. Dalam hitungan bulan, problem datang bertubi.
SEJAK terbentuk lewat KLB 9 Juli di Solo, wajah PSSI pimpinan Djohar Arifin Husin kian penuh bopeng. Dalam hitungan bulan, problem datang bertubi.
Kasus terkini terkait simpang siurnya format kompetisi yang katanya hendak
digulir mulai 8 Oktober, jumlah peserta kompetisi, dan nama wadah pengelola
kompetisi. Itu terkuak setelah Komite Eksekutif PSSI menggelar rapat di kantor PSSI, Jumat (16/9).
Format kompetisi yang semula dicetuskan dalam dua wilayah, konon, bakal
dikembalikan ke satu wilayah seperti musim sebelumnya. Jumlah peserta yang
semula disebut mencapai 34 klub, bakal disusutkan jadi 18 klub saja.
Soal nama badan pengelola kompetisi yang semula ditetapkan PT Liga Prima
Indonesia (LPI), juga bakal dikembalikan ke nama semula: Indonesian Super
League (ISL) atau Liga Super Indonesia (LSI).
Di luar itu, penjenjangan kompetisi pun bakal seperti yang selama ini berlaku, yakni ISL atau LSI, Divisi Utama, dan Divisi I. Tidak ada istilah kompetisi profesional level 1, level 2 atau istilah lain yang semula hendak diberlakukan PSSI.
Semua itu diungkap La Nyalla Mattalitti, anggota Komite Eksekutif PSSI yang
selama ini memang dikenal paling vokal. La Nyalla, bahkan, pernah pula
menyebut Djohar selaku Ketua Umum PSSI kerap didikte Arifin Panigoro.
La Nyalla juga mengaku bakal terus menentang kepentingan siapapun yang
bersifat sektoral dan tidak merujuk pada upaya perbaikan iklim sepakbola
nasional.
La Nyalla dengan tegas mengatakan anggota Komite Eksekutif PSSI menolak
penggunaan nama PT Liga Prima Indonesia (LPI) untuk badan pengelolaan
kompetisi musim depan. Jadi, kompetisi mendatang tetap akan memakai nama LSI atau ISL. Format kompetisi juga tetap satu wilayah dengan 18 klub peserta.
"Semua akan segera diverifikasi kembali. Jika nanti salah satu dari 18 itu tak memenuhi syarat, klub yang ada di level bawahnya naik. Yang jelas, semua
mengacu ke ISL/LSI. Semua sama, tidak ada level 1 dan level 2. Yang ada Divisi I, Divisi Utama, dan ISL atau LSI," beber La Nyalla.
Perubahan nama atau hal-hal terkait sistem dan format, menurut La Nyalla, sama saja mengubah statuta.
Apa yang diungkap La Nyalla jelas bertolak belakang dengan penjelasan yang
berkali-kali dicetuskan Sihar Sitorus, anggota Komite Eksekutif PSSI sekaligus Ketua Komite Kompetisi PSSI.
Nama mana, berapa jumlah peserta, dan seperti apa bentuk kompetisi musim
2011/2012, makin sulit dijawab. Maklum, makin dekat ke deadline 8 OKtober,
makin banyak pernyataan dari internal PSSI sendiri yang saling bertabrakan.
Kesan serupa menyeruak ketika mendengar penjelasan Bob Hippy, anggota Komite Eksekutif PSSI Bidang Timnas, bahwa dirinya hanya fokus ke pembinaan timnas empat tahun mendatang. Ia bilang dirinya tak memikirkan timnas saat ini.
Bob menyampaikan hal itu saat didesak komentarnya soal kisruh di timnas senior menyusul sikap dan pernyataan pelatih kepala Wim Rijsbergen sesaat setelah Firman Utina dkk kalah 0-2 dari Bahrain di laga kedua putaran 3 Grup E Pra Piala Dunia 2012 Zona Asia.
Bob juga pernah menampik wartawan ketika dikejar soal perkembangan suasana di internal timnas senior. Ia mengarahkan wartawan untuk bertanya ke Ferry Kodrat, manajer timnas senior. Padahal, Ferry sendiri menyatakan Bob adalah
orang paling berwenang memberi penjelasan soal timnas senior.
Plintat-plintutnya PSSI dalam mengambil keputusan juga mengemuka pada kasus
dua klub ISL/LSI yang menyeberang ke Liga Primer Indonesia (LPI). Sesuai statuta PSSI, mestinya kedua klub itu dijatuhi sanksi berupa larangan ikut kompetisi strata tertinggi. Keduanya harus mulai lagi dari bawah.
Tak ada angin tak ada hujan, PSSI mendadak sontak mengumumkan kedua klub itu terbebas dari sanksi. Keduanya dibolehkan ikut verifikasi sebagai calon peserta kompetisi strata tertinggi.
Belakangan, boleh jadi lantaran desakan La Nyalla dan sejumlah pihak lain yang paham aturan, PSSI mencabut keputusan pembebasan kedua klub dari sanksi.
PSSI, rupanya, baru sadar bahwa untuk mencabut sanksi itu harus melalui kongres tahunan PSSI.
Sampai kapan PSSI era reformasi pimpinan Djohar tersandung-sandung cara
kerjanya sendiri? Sampai kapan mata dan telinga ditutup dari kenyataan bahwa
sesungguhnya ada hal positif dari PSSI era lama yang layak diteruskan dan malah konyol jika dikubur ambisi babat alas?
Entahlah. Yang pasti, dalam hitungan bulan saja wajah PSSI era reformasi dipenuhi makin banyak bopeng. Makin tampak kedodoran dan jauh dari menarik,
apalagi seksi.